Powered by Blogger.

April 20, 2012

Tentang Sekolah #1

Entah karena efek berita tentang Ujian Nasional (UN) yang santer, entah karena baca status seseorang, jadi bikin saya sangat tertarik menulis tentang sekolah. Banyak orang-orang belakangan berkoar-koar tentang buruknya pendidikan di Indonesia. Ujiannya tidak representative lah, kurikulumnya terlalu berat lah. Bla bla bla bla. Umm.. Sekarang pertanyaan saya adalah, lalu bagaimana? Apakah anda akan mengirim anak-anak Anda ke luar negeri sejak pendidikan dasar? Go ahead, bagi yang mampu. Nah, bagi yang gak mampu gimana? Home schooling kah? Silahkan, bagi yang merasa lebih nyaman dengan cara itu (ngomong-ngomong home schooling apa gak mahal juga yah?). Lalu yang masih ingin menyekolahkan anaknya di sekolah umum, dengan biaya terjangkau karena keuangan terbatas, bagaimana?


Kalau boleh saya sharing, ijinkan saya melanjutkan tulisan ini. Semoga bermanfaat.


Pendidikan yang Baik dari Keluarga
Saya dibesarkan dalam keluarga dengan status ekonomi yang boleh dibilang: PAS-PAS-AN. Namun, orang tua sangat menginginkan keempat anaknya mengenyam pendidikan sekolah setinggi-tingginya dan sebaik-baiknya. Sehingga kami sejak kecil dididik cukup keras kala itu. Orang tua kami selalu mengingatkan bahwa, keberhasilan sebuah pendidikan, membutuhkan pendidikan yang baik dari keluarga. Dengan demikian, jika orang tua ingin anaknya berprestasi di sekolah, maka orang tua pun berperan sangat penting terhadap keberhasilan prestasi anak di sekolah, bukan hanya guru.


Apa yang waktu itu orang tua kami lakukan?


Ternyata orang tua punya sederet unwritten program bagi anak-anaknya, dan itu mau gak mau harus diterapkan secara konsisten dan disiplin kepada anak-anak. Saya selalu ingat, bagaimana kami tidak pernah diijinkan untuk bermain hingga larut, maksimal sebelum adzan maghrib kami sudah harus ada di rumah. Beribadah dan langsung diminta untuk menyiapkan buku-buku pelajaran esok hari di sekolah. Anak-anak diwajibkan belajar hingga pukul 19.30. No TV no radio. Ayah kami SANGAT SANGAT konsisten menerapkan ini, bahwa tidak boleh ada TV dan radio menyala ketika anak-anak belajar, lalu apa yang dilakukan orang tua? Biasanya ayah mendampingi kami belajar, karena pastinya ada hal-hal yang harus kami tanyakan. Dan di sudut sana, biasanya Ibu sedang mengaji.


Jadi, while anak-anak lain loncat-loncat kegirangan main di luar sana, kami sudah dituntut untuk memikirkan masa depan sejak itu. Karena sering banget tuuuh, ketika belajar dulu, ada backsound begini. "Ini kalau malas belajar mau jadi apa? Besok Bapak beliin bakul aja biar jualan sayur semuanya, kalau malas belajar. Atau Bapak kirim ke terminal Pulogadung aja, biar ngemis di sana, gak usah pulang lagi." Huhuhu. Serem ya backsound-nya?


Pukul 19.30 - 21.00, adalah waktu kami untuk menikmati hiburan keluarga. Boleh nonton TV, dengar radio, baca majalah, apapun. Karena ini adalah REWARD setelah belajar beberapa jam. Pukul 21.00, tepat ketika nada Dunia Dalam Berita berkumandang, maka SELURUH anggota keluarga diwajibkan masuk kamar dan TIDUR. No more TV, no more entertainment. Karena menurut orang tua kami, agar dapat menerima materi di sekolah dengan baik, anak-anak harus mendapatkan tidur yang cukup. Kalau ada yang perlu kami pelajari lagi, biasanya kami minta dibangunkan Ibu pukul 4 pagi, biasa terjadi kalau ada/mendekati ujian.


Siang hari sepulang sekolah, kami diminta untuk makan siang, mengerjakan PR, daaaaaan tidur siang. Yeay, I love taking a nap. Karena itulah istirahat yang sebenarnya buat saya, dan sehabis itu fresh banget buat lanjut belajar di malam hari :)


Kemudian. I used to hate holiday. Kenapa? Karena, selalu. Ketika liburan, ayah SELALU pergi ke toko buku membelikan kami buku-buku pelajaran tahun berikutnya. Misalnya begini, saya baru saja naik kelas dari kelas 2 ke kelas 3 dan sedang dalam liburan panjang, maka ayah membelikan buku-buku pelajaran kelas 3 untuk dipelajari selama liburan. Aduh ya, udah disuruh nyapu halaman, nyetrika, nyapu rumah, abis itu disuruh belajar lagi. So, bisa dibilang, it was no holiday for us. That's why I hated it.


Lalu bagaimana dengan hiburan? Orang tua mengijinkan kami untuk main game, jaman dulu kan heboh Nintendo atau Spica tuh.. Atau main sepeda bareng temen-temen. Itu pun ada waktunya tersendiri. Beberapa jam di siang hari, ketika hari libur. Kalau malam ya rutinitasnya belajar. Oh lupa, setiap malam Minggu kami tidak diwajibkan belajar. Yeaaaah, it's time for Planet Remaja. Hahahahaha. 


Kegiatan ini berlangsung hingga kami lulus SMA. Kamu mau tau apa yang kami rasakan? Grrrrrrrhhhhh. Bossssseeeeennnnn gilak! Gw yakin banget adek-adek dan kakak gw PASTI ngerasain yang sama. Rasanya dulu pingin BERRRRRONNNNTAAAAAK, ini pendidikan kumpeni apa gimana??? Belum lagi, setiap habis ulangan, ayah pasti memeriksa hasil nilai ulangan. Pernah saya dapet nilai NOL waktu kelas 1 SD, huhuhu. Saya dapet hukuman saudara-saudara. Yah karena saya emang kala itu bodoh beut dah. Masak ditanya, sekolah mencari apa? Saya jawab mencari jajan, dan kalau orang sakit dibawa kemana? Saya jawab dibawa ke pasar.. Huhuhu. Yeah, it was me! Maafkan, maafkan..


Pertanyaannya kemudian, apakah kami menyesal di-PROGRAM begini?


Kami serentak menjawab. "NGGGGAAAAAAK." Justru kami menyesal kalau tidak diprogram seperti ini, mungkin kami memang benar-benar sedang berjualan sayur keliling kalau kami dulu tidak mengikuti aturan orang tua.


Menariknya, ayah walaupun boleh dibilang OTORITER, beliau bisa lho jadi teman baik buat kami. Walopun, dulu gw tampak bego nanya kalau ada yang gak ngerti, dan abis itu dimarahin, dan abis itu beliau baik lagi, maka gw gak kapok nanya pertanyaan bodoh lagi pada beliau, karena sejak awal, ayah selalu bilang, orang tua selalu menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya, maka jangan pernah khawatir dengan permintaannya. Ini, kata-kata sakti banget buat gw secara pribadi. Karena alhamdulillah, dengan mengikuti segala permintaannya, hidup jadi terasa lebih mudah. 


Terus, apakah orang tua dapat menjawab seluruh pertanyaan anak-anaknya? Hey, orang tua kami bukan dewa. Apalagi orang tua kami juga tidak mengenyam pendidikan tinggi. Ayah cuma sampai STM dan Ibu cuma sampai SMP. Jadi, kalau ada yang gak ngerti dan orang tua gak bisa jawab gimana? Sementara PR harus dikumpulkan besok di sekolah? Maka, orang tua kami meminta untuk bertanya kepada tetangga. Hahahaha. Jadi, di deket rumah itu ada sepasang suami istri yang berprofesi sebagai guru, mereka lah yang kemudian membantu kami memecahkan misteri kami. Gw inget banget tuh, dulu pas SD disuruh nyanyiin salah satu lagu wajib pilihan, karena gw milih lagu Rayuan Pulau Kelapa, yang mana gw GAK NGERTI nyanyiinnya gimana, maka Ibu dan Bapak Praptono itu lah yang membantu kami menyanyikannya. Terima kasih ya Bu.. Terima kasih ya Pak..


Saya juga tidak dibiasakan untuk mengikuti bimbel atau pelajaran tambahan di luar sekolah. Rasanya dengan waktu belajar di sekolah, dan BERKALI-KALI mengulang di rumah, cukup untuk memahami materi sekolah. Saya lebih senang mengikuti les bahasa atau les musik kalau memang ada dana lebih. Tapi sayang, untuk les musik saya belum kesampaian. Yaaaaah, beginilah kami, sebisa mungkin mencari pendidikan yang tidak mengeluarkan dana banyak.


Saya ingat betul, bagaimana saya menyukai pelajaran bahasa ketika saya SMP dan SMA. Ayah hanya sanggup membiayai saya untuk mengikuti 1 term saja les bahasa Inggris di LIA. Setelah itu, saya harus belajar mati-matian agar memperoleh peringkat terbaik di LIA untuk mendapatkan scholarship, agar saya bisa lanjut belajar di sana. Sempat saya beberapa kali mendapat bebas biaya dari LIA karena usaha itu. Dan rasanya sediiiih sekali, waktu tahu seseorang menggeser posisi saya dan saya harus TERPAKSA berhenti belajar di sana. To be perfectly honest, saya belajar mati-matian kala itu, bukan untuk menjadi yang terbaik, melainkan ingin memiliki kesempatan yang sebesar-besarnya untuk belajar. Dari situ saya tahu, life ain't always easy, so you have to be harder, harder, and harder.


Banyak hal-hal lain yang saya peroleh dari ayah. He's a visioner, at least for me. Sejak TK saya sudah didengungkan dengan nama besar ITB, ckckck. Sehingga kalau ditanya kalau besar akan kuliah dimana, pasti jawabannya ITB. Adik saya yang paling kecil pun jawabannya sama (saat ini dia kelas 6 SD). Padahal Bapak itu gak kuliah ya.. Tapi beliau tahu memilih sekolah-sekolah terbaik untuk anak-anaknya. Heuheu, walopun gw TIDAK berhasil masuk kampus impian itu. 


Banyak dari keluarga besar yang memprotes cara mendidik orang tua kami, karena terlalu keras katanya. Nah, tahu apa pendapat mereka melihat kami sekarang? "Enak ya anaknya semua udah pada kerja, mapan.." Eh eh, dulu kemana aja..?



Sekolah, Tempat Bermain dan Belajar
Gw tanya adik-adik gw, kakak gw, apakah seneng kalo disuruh berangkat ke sekolah???? Semuanya menjawab SENAAAAANG, dengan kompak. Kenapa sih?


"Di sekolah kan enak, ketemu temen-temen. Ketemu Bu Guru dan Pak Guru, bisa tanya-tanya kalau ada yang gak ngerti, guru-gurunya kan juga lucu-lucu, bisa ketemu orang-orang di jalan. Dapet uang jajan walopun cuma bisa beli Mamie 4 biji. Bisa ketawa-ketawa. Bisa main petak umpet. Bisa lari-larian. Bisa ini, bisa itu. Bisa semuanyaaaaa."


Yessss, we LOVE to go to school. Sampai detik ini saya belum terpikir tentang home schooling untuk anak-anak nanti. Masih banyak hal positif yang ditawarkan oleh sebuah sekolah, menurut saya. Pastinya anak saya nanti dapat belajar bersosialisasi, belajar bertoleransi, belajar mengemukakan dan menghargai pendapat, belajar kepemimpinan, kemandirian, belajar bersaing dengan sehat, dan masih banyak lagi.


Iya saya tahu, bahwa ada oknum sekolah yang mata duitan, dan menawarkan jasa "mempermudah" untuk masuk sekolah tertentu, atau menjanjikan hal-hal yang gimanaaa gitu asal kita membayar sejumlah uang sekian banyak. Ckckck. Cuekin aja ya, misinya kan berangkat dari rumah anak kita mau belajar. Sekalian anak juga belajar untuk gak nyogok, supaya nanti masuk dunia kerja pun gak pake nyogok. Saya dulu gak pernah peduli apakah guru memperhatikan saya atau tidak, yang penting saya belajar dan gak kurang ajar sama guru. Everything was fine. Nilai raport baik-baik aja.


Alhamdulillah, sejak kecil orang tua memilihkan kami sekolah dengan kualitas baik. Sehingga kami pun senang berangkat ke sekolah. Gak perlu sekolah swasta yang mahal, yang negeri juga banyak yang bagus kok.. Saya masih percaya bahwa pendidikan di Indonesia masih bisa "dipegang". Asal orang tua jeli memilihkan sekolah untuk anaknya. Saya sempet ngobrol-ngobrol dengan salah satu rekan kerja, kebetulan sejak SMA dan kuliah, ia sudah hijrah ke luar negeri. Saya sempat tanya, bagaimana dengan anak-anak Indonesia yang mengambil master di sana? Are they competent? Temen saya bilang, "Waaaaah jangan salah ya.. Orang Indonesia itu banyak yang pintar, Mbak. Temen-temen dari Indonesia, apalagi yang dapet scholarship, itu pintar-pintar, Mbak. Walaupun mereka sejak kecil sekolah di Indonesia sampai S1. Mungkin karena pelajaran sekolah dari kecil udah banyak, jadi terbiasa juga jika harus menelan materi banyak.."


Beberapa hari kemarin, ketika saya dan Fun merasa konyol bahwa UN membuat siswa mengalami gangguan jiwa. Trus, saya iseng tanya Fun..


"Fun, kamu dulu takut ga sama EBTANAS?"
"Takut kalau gak siap, gak belajar," begitu jawabnya.
"Trus, setuju gak kalau Ujian Nasional dihapuskan aja?"
"Ya, nggak lah."


Hahahahaha. Saya dan Fun yang waktu masih SD suka dapet nilai NOL aja gak setuju Ujian Nasional dihapuskan. Apalagi yang jaman sekolah dulu selalu dapet nilai terbaik ya.. Buat gw pribadi, tetap harus ada parameter-parameter yang dapat mengukur tingkat keberhasilan pendidikan, ya dengan ujian. Kebetulan adik gw yang paling kecil, saat ini menduduki bangku kelas 6 tengah sibuk mempersiapkan diri untuk Ujian Nasional, sudah pasti porsi belajarnya ditingkatkan lagi, dan orang tuanya pastinya secara ketat mengawasi (kembali kepada peran penting orang tua).


Kemudian, saya jadi teringat cerita tentang Fun. Kalau cerita tentang usahanya Fun selama sekolah lebih dahsyat lagi. Cuma saya belum minta ijin Fun untuk sharing, nanti kalau saya sudah dapet ijin dan ada kesempatan cerita, saya akan berbagi. Kali ini saya cuma mau cerita sedikit tentang perjalanan Fun, when he took his master. Fun cerita, bahwa pendidikan di luar itu jauh lebih berat. Selama di sana, Fun biasanya tidur maksimal hanya 2 jam sehari. Karena materi yang segambreng, dan kamu harus sudah memahami materi sebelum perkuliahan dimulai. Belum lagi, ujian yang bertubi-tubi dan standard nilai yang jauh lebih tinggi. Katanya Fun (lagi), standard nilai C di Indonesia, adalah nilai E di sana. Kebayang gimana pontang-pantingnya Fun di sana. Tidur pun mimpinya rumus semua katanya. Hahahaha.


Jadi gimana? Masih mau complain? Masih mau gak terima dengan yang ada? Well, hey.. Kita masih di Indonesia, dan uang kita pas-pas-an bukan? Jangan pernah menyerah pada keadaan dan keterbatasan yang ada. Youk kita bangun sistem pendidikan yang baik dalam keluarga. Kita rencanakan pendidikan sejak dini, baik dari biaya maupun persiapan mental si anak. Dengungkan sejak kecil, bahwa sekolah adalah tempat yang menyenangkan untuk bermain dan belajar. Suguhkan kemandirian agar anak tidak takut jika harus berangkat ke sekolah sendiri, tidak takut jika mengerjakan soal di depan kelas, tidak takut jika harus menghadapi ujian.


Hey super mommy and daddy, I know you can do it. For a better future. Gak semua drop out dapat menciptakan Steve Jobs, teman.


Maaf ngelantur ya.. Dari tadi gak ada yang bisa diajak ngobrol di rumah soalnya.


Foto dengan guru-guru terbaik dari banyak guru terbaik yang pernah kutemui. Sayang gak punya foto yang lain.
Terima kasih telah menjadikan masa-masa sekolah kami, salah satu masa yang paling indah.

0 comments:

Post a Comment

  © Blogger Template by Emporium Digital 2008

Back to TOP