Powered by Blogger.

October 19, 2013

Kepada Para Pembelajar

Melihat tulisan di sini membuat saya tergerak untuk menulis. Saya merasa saya HARUS menulis.

Beberapa waktu belakangan ini, saya seriiiing sekali melihat banyak tulisan, entah yang dituangkan ke dalam sebuah blog, entah yang cuma status, entah tweet, yang isinya kurang lebih mengatakan bahwa betapa mulianya menjadi seorang Ibu Rumah Tangga, yang maaf, maaf sekali, saya merasa terlalu berlebihan.

Buat saya pribadi, untuk menjadi mulia, kita bisa menjadi apapun, salah satunya adalah menjadi Ibu. Setelah saya dianugerahi seorang anak yang begitu mengesankan buat saya, saya benar-benar bisa merasakan kemuliaan menjadi seorang Ibu, yang mungkin, belum semua perempuan dapat merasakannya. Tapi kemudian, bagaimana dengan yang belum mampu secara lahiriah untuk menjadi seorang Ibu? Apakah tidak dapat menjadi mulia? Karena ia belum dianugerahi seorang anak? Ia bisa menjadi istri yang mulia bukan? Lalu, pertanyaan saya berikutnya, kalau ada seorang istri yang kebetulan belum memiliki seorang anak, dan meminta ijin suaminya untuk bekerja untuk mengisi waktunya, kemudian suaminya mengijinkan, apakah ini bukan sebuah kemuliaan? Padahal ia bekerja menjadi karyawan yang baik, atau menjadi pedagang yang jujur?

Kemudian, bagaimana jika saya bertanya lagi. Kalau seorang istri yang bekerja bisa menjadi mulia. Bagaimana dengan seorang istri yang telah memiliki anak, kemudian bekerja atas seijin suaminya? Apakah secara otomatis menjadi tidak mulia, hanya karena ia telah memiliki seorang anak?

Saya pribadi sampai detik ini masih tidak habis pikir, mengapa masih banyak orang-orang yang berpikiran sempit. Bahwa jika seorang Ibu bekerja, kemudian serta merta ia melupakan kewajibannya sebagai seorang Ibu. Atau, jika seorang Ibu bekerja, ia sangat tidak bisa menerima kekurangan dari penghasilan suaminya. Atau, jika seorang Ibu bekerja, paling-paling gajinya buat beli tas, sepatu sama make up.

Sebagian tulisan di atas saya kutip sebagai berikut..

....Bisa jadi kesuksesan si anu itu harus dibayar dengan fisiknya yang bobrok karena terlalu letih bekerja. Bisa jadi itu semua dibayar mahal dengan penelantaran hak keluarga. bahkan tak urung juga hingga akhirnya pasangan hidupnya meninggalkannya. Atau mungkin, dia memiliki kekurangan di bagian yang tidak diketahui tempatnya (semisal wanita tersebut sulit memiliki keturunan, dll). Kiranya, ada harga yang harus dibayar di balik itu semua....

Kalimat-kalimat di atas cukup membuat saya merasa sedih hari ini. Bagaimana seorang pembelajar bisa mengatakan hal seperti ini. Saya nggak akan bicara soal hadist atau ayat apapun di sini, karena saya sama sekali tidak ahli di sana. Saya hanya seseorang yang ingin memaknai hidup. Saya sedih melihat bagaimana seorang pembelajar mengatakan bahwa seorang istri yang bekerja, suatu saat akan membayar sebuah harga mahal dengan kesehatan yang bobrok. Lalu bagaimana dengan yang saat ini tidak bekerja kemudian diberikan ujian sakit? Saya sedih melihat bagaimana seorang pembelajar mengatakan bahwa jika seorang istri tidak memiliki keturunan adalah harga mahal yang harus ia bayar hanya karena ia bekerja. Atau seorang istri pekerja ditinggalkan suaminya karena beliau bekerja? Lalu mengapa banyak juga istri yang tidak bekerja kemudian ditinggalkan suaminya?

Saya pribadi, pernah menjadi Ibu Rumah Tangga, pernah juga bekerja di rumah, dan alhamdulillah saya sekarang menjadi Ibu, sekaligus bekerja dari kantor, juga bekerja dari rumah, alhamdulillah semuanya atas seijin suami. Saya tak habis-habisnya bersyukur atas kondisi ini. Saya bersyukur dengan bekerja saya dapat membantu keluarga saya. Kebetulan saya dan suami memiliki adik-adik yang perlu kami biayai. Ayah saya sudah pensiun dengan uang pensiun yang sangat minim, saya sendiri masih memiliki adik yang masih duduk di bangku kuliah SMP. Di sisi suami, ayah mertua telah tiada, dan kami memiliki dua orang adik yang masih kuliah (alhamdulillah satu baru saja lulus). Apakah saya tetap mulia, manakala semua kewajiban ini saya serahkan kepada suami, padahal saya tahu suami membutuhkan bantuan saya, dan saya harus tetap tenang dengan "kesederhanaan" yang digadang-gadang di tulisan di atas, padahal adik-adik kami membutuhkan bantuan biaya kuliah. Apakah saya tetap mulia jika saya berdiam diri?

Lebih mulia mana? Seorang Ibu Rumah Tangga, yang kemudian mengambil alih semua penghasilan suaminya tanpa menyisakan sedikitpun uang untuk keluarga suaminya? Dia tidak bekerja lho. Atau, seorang Ibu yang bekerja, mengumpulkan uang untuk membantu adik-adiknya, atau mengumpulkan uang untuk memberangkatkan haji kedua orang tuanya? Pertanyaan saya berikutnya, siapa sebetulnya yang menentukan kemuliaan seseorang? Saya rasa kita semua sepakat, bahwa kita di sini, di dunia ini, sama sekali tidak berhak menentukan derajat seseorang. Kita semua sepakat, bahwa segala macam ujian, entah sakit, kecelakaan, kemiskinan, belum dikaruniai keturunan, adalah hal-hal yang akan menjadikan kita kuat dan ditingkatkan derajatnya. Atau kita memang belum sepakat?

Saya berharap ini dapat menjadi pemikiran kita. Untuk tidak pernah coba memandang negatif apa yang sedang seseorang perjuangkan. Untuk tidak pernah mencoba melihat negatif keputusan yang diambil seseorang. Kita semua pembelajar kan? Jadi, kalau dari masing-masing kita sudah mengambil keputusan, itu sudah dipelajari dan diperhitungkan secara masak-masak kan? Atau memang kita bukan termasuk golongan pembelajar?

Masih ada gunanya kah kita memperdebatkan lebih baik mana, Ibu yang bekerja atau tidak?

0 comments:

Post a Comment

  © Blogger Template by Emporium Digital 2008

Back to TOP